resensi buku - Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Judul: Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Soe Hok Gie adalah ikon gerakan mahasiswa. Ia telah menjadi inspirasi bagi
banyak aktivis kampus di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Bahkan catatan
hariannya yang dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran, menjadi semacam
bacaan wajib bagi peminat ataupun simpatisan dunia pergerakan.
Dari buku tersebut dapat dilihat bagaimana Hok-Gie merespon realitas. Jejak
kegelisahan, semangat, perenungan, sikap maupun idealismenya dapat dilihat dari
buku tersebut. Buku tersebut seolah menjadi representasi dunia batin adik
kandung budayawan Arief Budiman itu.
Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.
Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.
Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi, tampaknya mulai membuka sisi lain
dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap meskipun tidak bisa secara utuh
mengurai kompelksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan
pencinta alam yang tergabung dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas
Indonesia, budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan
inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.
Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI
yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru pada pertengahan bulan Desember 1969.
Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya pada hari-hari saat-saat
terakhir bersama Hok-Gie.
Tulisan ini diletakan di bagian awal karena memang kisah inilah yang paling
tragis dari Hok-Gie. Di bagian ini dikisahkan saat-saat terakhir Rudy Badil
bersama Hok-Gie. Dikisahkan bagaimana ia sempat melihat Hok-Gie yang masih
bertahan di puncak Semeru sementara pendaki lain sudah turun karena cuaca saat
itu dianggap mulai tidak bersahabat.
Namun tidak lama setelah itu Rudy Badil diberitahu oleh pendaki lain bahwa
Hok-Gie dan Idhan Lubis mengalami kecelakaan. Belakangan diketahui kematiannya
itu disebabkan oleh gas beracun yang keluar dari kawah Semeru, gunung berapi
yang masih aktif.
Dikisahkan pula bagaimana sulitnya proses evakuasi kedua jenazah tersebut.
Hal ini disebabkan sulitnya menjangkau lokasi karena medan yang cukup berat.
Namun, dengan bantuan penduduk setempat, kedua jenazah dapat diturunkan.
Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-Gie
adalah sosok idealis yang seakan tidak pernah takut kepada siapa pun selama ia
yakin dengan sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan dengan penguasa jika memang
penguasa tersebut berbuat sesuatu yang dianggapnya mencederai rasa keadilan.
Tidak heran jika kritik mapun protes keras acap kali ia sampaikan kepada
penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya,
Hok-Gie memang dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa. Termasuk ketika
Hok-Gie terang-terangan melawan Presiden Soekarno yang dianggap memberi ruang
terlalu berlebihan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menariknya, meskipun Hok-Gie adalah seorang anti-komunis--ditandai dengan
dengan terjun langsungnya ia ke arena perlawanan terhadap komunisme--tetapi dia
tetap protes ketika terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang
dianggap memiliki hubungan dengan PKI tanpa melalui proses di pengadilan.
Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia yang menyumbangkan
tulisan dalam buku ini, mengutip tulisan Hok-Gie untuk memperlihatkan sikap
Hok-Gie, terhadap masalah pembantaian tersebut. Hok-Gie dalam dalam majalah
Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat menulis, ketika pembunuhan dilangsungkan,
para tawanan sering minta untuk segera dibunuh saja. Alasannya, mereka telah
mengetahui bagaimana hidup mereka akan berakhir. Hal itu dilakukan karena
mereka takut menghadapi siksaan atau cara pembunuhan mengerikan yang dilakukan
oleh manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal. 349).
Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan maupun kemunafikan. Ia tidak
segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini sikapnya
hanya hitam-putih, tidak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap
kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang
memiliki otoritas.
Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan
agama. Dalam hal ini Hok-Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku
mengalami "krisis kepercayan", menolak pendapat dari otoritas pemuka
agama yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama
yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie gagasan ini terlalu
berlebihan. Baginya agama haruslah membawa pembebasan, dan bukan menjadi alat
masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Di balik itu semua ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu
berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie
adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri, entah itu dalam pergaulan,
komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.
Jelaslah, buku ini bukan sebuah usaha untuk mengultuskan sosok Hok-Gie.
Sebaliknya buku ini mencoba untuk memperlihatkan sosok Hok-Gie apa adanya, dari
sudut pandang orang-orang yang mengagumi dan mencintainya
Buku ini sebenarnya dapat lebih kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie hasil
korespondensinya dengan sejumlah orang dapat dimuat. Bukankah ia disebut-sebut
berkorespondesi dengan Ben Anderson, Daniel S Lev, David R Looker, Syharir, sampai
Onghokham. Tentu saja hal ini perlu usaha yang lebih rumit untuk mengumpulkan
kembali surat-surat yang dimaksud.
Namun demikian, kehadiran Soe Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat
memberikan sebuah penggalan lain kisah seorang Hok-Gie. Kita pun diingatkan
kembali bukan hanya kepada keberaniannya, tetapi juga persoalan bangsa
Indonesia yang membutuhkan politisi serta pemimpin yang peduli, peka dan siap
bekerja untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih.***
No comments:
Post a Comment