1.
Lingkungan Bisnis yang Mempengaruhi Perilaku Etika
a. Pengendalian
diri
Artinya,
pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka
masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk
apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan
tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi
penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah
etika bisnis yang “etis”.
b.
Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility). Pelaku bisnis
disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam
bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbanga, melainkan lebih kompleks lagi.
Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan
excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan
sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
c.
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi. Bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya transformasi informasi dan
teknologi.
d.
Menciptakan persaingan yang sehat. Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan
yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku
bisnis besar da golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan
sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan
yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
e.
Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan” Dunia bisnis seharusnya tidak
memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas
pelaku bisnis dituntut tidak mengekspoitasi lingkungan dan keadaan saat
sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
dimasa dating walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan besar.
f.
Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak
akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala
bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang
mencemarkan nama bangsa dan Negara.
g.
Mampu menyatakan yang benar itu benar. Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang
tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak
bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan
“kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk
mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
h.
Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan
pengusaha kebawah. Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada
saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha
lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya
yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara
pihak golongan yang kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan
kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
i.
Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Semua
konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila
setiap orang tidak mampu konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut.
Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”
baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan
kecurangan demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan
gugur satu demi satu.
j.
Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati. Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua
memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
k.
Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif
yang berupa peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk menjamin kepastian
hokum dari etika bisnis tersebut proteksi terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan
tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia bisnis serta kesadaran semua pihan untuk menghadapi tahun 2000 dapat
diatasi.
2.
Kesaling-Tergantungan Antara Bisnis dan Masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang
betapa hubungan yang harmonis dan kesalingtergantungan itu adalah amat penting.
Bumi tempat kita berpijak, masih setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim
dan secara tim dengan planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah
berjalan sendiri-sendiri. Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah
tidak membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina,
melainkan ketergantungan yang terus diusung.
Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada
relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia bekerjasama, bergotong-royong
dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah
gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding
yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku, ekonomi.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini
adalah karena terlalu membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia
lain. Negara telah dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas
pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam
dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam
hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
Di negara lain, kelas proletar yang dahulu
diperjuangkan, toh setelah meraih kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma
menjadi kelas yang istimewa, yang rigid terhadap kritik. Hukum diselewengkan,
dan bui menjadi jawaban praktis bagi para oposan. Proletar melakukan kesalahan
yang sama dengan borjuis yang dilawannya habis-habisan.
Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk
mengelabui rakyat jelata, maka proletar menganggap agama sebagai candu rakyat.
Yang satu mengatasnamakan agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin.
Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: kekuasaan.
Kekuasaan negara,
dan juga agama telah menjadi petualangan bisnis, dimana siapa saja yang
berkuasa maka kekayaan hendak menumpuk dalam istananya dengan benteng
menjulang, sementara secuil saja kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja
keras. Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris,
Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan
untuk berdagang dengan penduduk setempat. Mereka melakukan kerjasama bisnis
dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya mereka menikmati
peran sebagai partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap tidak lagi menarik.
Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa
ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan menciptakan
ketergantungan penduduk lokal kepada mereka. Rupanya peran yang belakangan
lebih menarik dan lebih menantang.
Perbudakan adalah sesuatu yang tidak alami,
menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap manusia berhak atas kebebasan. Namun
pola perbudakan semacam itu kiranya tidak lekang oleh zaman,. meski bentuknya
diubah sedikit supaya lebih beradab. Perbudakan dewasa ini lebih modern,
kendati tetap ditempuh dengan cara-cara yang zalim.
Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya
kebanyakan beragama bukan karena kesadaran melainkan telah ditentukan orangtua
sejak lahir, maka agama lagi-lagi merupakan alat yang nyaris selalu laris untuk
memuluskan tujuan-tujuan tersebut. Lembaga keagamaan dan negara berkonspirasi
untuk memperbudak jiwa manusia.
Di negeri ini, berapa banyak fatwa mufti
negara, undang-undang dan peraturan daerah bernuansa agama yang tidak masuk
akal yang menghendaki rakyat senantiasa bergantung kepada mereka? Keadaan
demikian menciptakan kericuhan di dalam masyarakat akibat hiperregulasi, karena
tingkat kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan menjadi barang yang mahal.
Kepergian para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian
Indonesia.
Dalam keadaan collapse akhirnya kita memiliki
ketergantungan yang tinggi kepada negara luar. Kucuran dana negara asing kepada
kita bukanlah sesuatu yang gratis. No free lunch. Dana punia dan pinjaman
mereka seraya mendesakkan kepentingan dan agenda mereka, tidak bisa dipungkiri.
Barangkali Paman Sam dengan kapitalismenya, maka Arab Saudi yang setia dengan
garis iman Wahhabi tentunya akan mendesakkan agenda mereka kepada Indonesia.
Pemikiran-pemikiran
sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam misalnya, dengan ideologi
kapitalisme yang mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam telah menjadikan
dunia Islam menjadi terpuruk dengan ketergantungan yang tinggi terhadap Barat.
Sebagai jalan keluar, sebagian orang sering mengalami eskapisme untuk memasuki
dunia “pasti” yang menentramkan hati. Jalan yang diambil adalah dengan penyerahan
diri kepada sebuah “otoritas transedental” (baca: otoritas mufti negara) yang
menjanjikan kesenangan eskatologis.
Sebagian yang lain meresponnya dengan
melakukan tindakan-tindakan anarkis dan vigilantisme. Seperti pernah dituturkan
Amrozi dalam Koran Tempo tahun 2003, peledakan bom Bali adalah untuk menjaga
kehidupan beragama
Pola relasi negara kita dengan negara luar
layak dibenahi. Bangsa kita harus memiliki keberanian yang cukup untuk bisa
pula mendesakkan cita-cita negara kita sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 kepada mereka. Bangsa kita harus memiliki nyali yang cukup untuk menolak
agenda mereka yang bisa merusak kemerdekaan yang telah susah payah diraih.
Hubungan luar negeri kita harus berubah dari ketergantungan, menjadi kesalingtergantungan,
sebagai bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat. Kemerdekaan dan kebebasan
saja belum cukup, namun saat ini penting kemerdekaan untuk hidup merdeka,
kebebasan untuk hidup bebas.
Setiap orang warga negara ini, bahkan warga
seluruh dunia memiliki kebutuhan individu.
Kebutuhan akan
makan, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan dsb sejatinya bukanlah kebutuhan
individu atau segelintir orang saja, melainkan seluruh orang yang hidup di
dunia ini membutuhkannya. Setiap orang tidak akan mampu mencukup kebutuhannya
sendiri tanpa semangat gotong-royong, kesalingtergantungan, kerjasama,
kolaborasi dengan orang lain.
3.
Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etik
Korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya
di tingkat pusat dan sekarang meluas 4 sampai ke daerah-daerah, dan meminjam
istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja,
sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di
kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di
sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala
mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri
maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini
semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral
bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam
kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para
pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi
"emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu
sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk
usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional,
meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi.
Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku
usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun,
karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis
berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan etika
dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada
kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.Walaupun seseorang atau
sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka,
tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas
sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang
sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan
mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi
Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih
belum banyak mendapat perhatian.
Sebaliknya,
justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama
artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak
dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah
hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban
pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan
kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan
antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan
kebanyakan orang Indonesia 5 tidak bisa membedakan antara perbuatan yang
semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan
yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak
dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan
moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu
haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan
pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
4. Perkembangan Dalam Etika Bisnis
•
Situasi Dahulu
Pada
awal sejarah filsafat, plato, aristoteles, dan filsuf – filsuf Yunani lain
menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam Negara
dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
•
Masa Peralihan Tahun 1960-an
Ditandai
pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi
mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan).
Hal ini member perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu
dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and
Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social
responsibility.
•
Etika Bisnis Lahir di AS Tahun 1970-an
Sejumlah
filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah – masalah etis sekitar bisnis
dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunis bisnis di AS.
•
Etika Bisnis Meluas ke Eropa Tahun 1980-an
Di
Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun
kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademis dari Universitas serta
sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN)
•
Etika Bisnis Menjadi Fenomena Global Tahun 1990-an
Tidak
terbatas lagi pada dunia barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh
dunia. Telag didirikan Intenational Society for Business, Economics, and Ethics
(ISBEE) pada 25-28Juli 1996 di Tokyo.
5. Etika Bisnis dan Akuntan
Amerika
Serikat yang selama ini dianggap sebagai Negara super power dan juga kiblat
ilmu pengetahuan termasuk displin ilmu akuntansi harus menelan kepahitan.
Skandal bisnis yang terjadi seakan menghilangkan kepercayaan oleh para pelaku
bisnis dunia tentang praktik Good Corporate Governance di Amerika Serikat.
Banyak perusahaan yang
melakukan kecurangan diantaranya adalah TYCO yang diketahui melakukan
manipulasi data keuangan (tidak mencantumkan penurunan aset), disamping
melakukan penyelundupan pajak. Global Crossing termasuk salah satu perusahaan
terbesar telekomunikasi di Amerika Serikat dinyatakan bangkrut setelah
melakukan sejumlah investasi penuh resiko. Enron yang hancur berkeping terdapat
beberapa skandal bisnis yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika
Serikat. Worldcom juga merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar
di Amerika Serikat melakukan manipulasi keuangan dengan menutupi pengeluaran
US$3.8 milyar untuk mengesankan pihaknya menuai keuntungan, padahal
kenyataannya rugi. Xerox Corp. diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan
menerapkan standar akunting secara keliru sehingga pembukuan perusahaan
mencatat laba US $ 1.4 milyar selama 5 tahun. Dan masih banyak lagi.